Setelah berakhirnya perang Diponegoro pada tahun 1830, salah seorang kerabat dan prajurit Pangeran Diponegoro yang bernama Angling Kusuma melakukan perjalanan ke daerah barat Yogyakarta, tepatnya di wilayah Banyumas. Selama perjalanannya, ia sampai di sebuah hutan rimba yang pada saat itu belum ada seorang pun yang berani memasukinya untuk membukanya. Angling Kusuma, yang saat itu masih merupakan seorang prajurit di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro, dengan keberanian dan pengetahuan kanoragan yang dimilikinya, berani membuka hutan rimba tersebut dan mengubahnya menjadi lahan pertanian.
Seiring berjalannya waktu, Angling Kusumo dan kerabatnya dengan semangat yang tinggi mengubah hutan belantara menjadi sebuah pedukuhan, lalu mulai memperluas lahan pertanian. Karena tanahnya yang subur, padi tumbuh dengan baik dan hasil panen melimpah. Pada saat itu, penduduknya masih sangat sedikit, dan hanya ada beberapa rumah di sana.
Berkat kerja keras Angling Kusumo dan ketekunannya, kemakmuran dan kesuburan pedukuhan ini terdengar oleh orang di luar pedukuhan. Angling Kusumo merasa bersyukur, maka kemakmuran pedukuhannya dirayakan dengan mengadakan kenduri dari hasil panen padi, yang membuatnya terkenal sebagai "Mbah Bojasari" hingga saat ini. Makamnya pun masih terawat dengan baik sampai sekarang.
Hasil panen padi yang melimpah dari pengolahan lahan menarik perhatian orang-orang dari luar pedukuhan ini, sehingga seiring berjalannya waktu, semakin banyak pendatang yang datang mencari nafkah dan akhirnya menetap di pedukuhan tersebut. Angling Kusumo, yang menjadi tetua di pedukuhan tersebut, mengatakan, "Akeh wong pada bola basehan neng pedukuhanku" (banyak orang yang mencari kehidupan di desaku). Akibatnya, pedukuhan yang dipimpin oleh Angling Kusumo akhirnya diberi nama Pedukuhan Baseh.
Kemakmuran di Pedukuhan Baseh semakin tersebar ke berbagai pedukuhan lainnya, dan hal ini menarik banyak orang dari berbagai tempat untuk datang melihatnya. Salah satu dari mereka datang dengan sikap sombong, tetapi ketika melihat panen padi yang melimpah di Pedukuhan Baseh, dia terkagum-kagum hingga tanpa sadar bersiul. Kejadian tersebut menyebabkan padi-padi di sana menjadi kosong, atau dalam bahasa setempat disebut "gabuk."
Akibat kejadian ini, sampai saat ini ada sebuah pantangan di Desa Baseh yang melarang orang untuk bersiul, dan baik pendatang maupun penduduk asli dilarang bersikap sombong.
Pada masa penjajahan Belanda antara tahun 1920-1930, Desa Baseh dipimpin oleh seorang lurah bernama Wangsadiwirya. Kepemimpinannya masih gejala feodalisme yang kuat karena berada dalam periode penjajahan. Kemudian, selama masa penjajahan Jepang dari tahun 1942 hingga 1945, kepemimpinan Lurah Wangsadiwirya digantikan oleh Lurah Tirtadirana. Meskipun begitu, selama periode ini, Desa Baseh belum mengalami perkembangan yang signifikan.
Sejak tahun 1945, kepemimpinan di Desa Baseh dipegang oleh Kartadiwirya hingga tahun 1969. Selama masa pemerintahan Lurah Kartadiwirya, Desa Baseh mengalami banyak perubahan positif, dan pembangunan aktif dimulai. Sarana prasarana penting seperti Saluran Wangan Tlaga dan jalan desa mulai dibangun.
Lurah Kartadiwirya dikenal sebagai sosok yang baik, disiplin, dan berwibawa. Ia sangat dihormati oleh masyarakat serta sesama lurah pada saat itu, bahkan terpilih sebagai Pimpinan Lurah yang memimpin beberapa desa. Di bawah kepemimpinan Lurah Kartadiwirya, Desa Baseh mengalami transformasi signifikan menuju kemajuan dalam berbagai bidang. Peningkatan yang paling mencolok terjadi di sektor pertanian, karena sebagian besar penduduk Desa Baseh menggantungkan mata pencaharian mereka sebagai petani. Terutama setelah Saluran Tlaga dibangun melalui kerja keras swadaya dan gotong royong, pengairan sawah menjadi lancar dan berkelanjutan sepanjang tahun.
Pada tahun 1969, kepemimpinan Desa Baseh dilanjutkan oleh Lurah Sumarto, yang mengadopsi gaya kepemimpinan dari pendahulunya, yaitu Lurah Kartadiwirya. Selama masa kepemimpinan Lurah Sumarto, kebijakan-kebijakan menjadi lebih terarah, sistematis, dan dinamis, sehingga Desa Baseh berkembang menjadi desa swasembada di berbagai aspek, menghasilkan berbagai pencapaian yang signifikan.
- Penyusunan tata ruang mulai dari tingkat kebaon atau dusun hingga grumbul, RT / RW, dan lembaga-lembaga desa lainnya;
- Pembangunan tiga lapangan sepak bola di tiga dusun yang berbeda;
- Pengembangan jumlah sekolah dasar dari satu menjadi dua SD Negeri;
- Pembangunan Balai Desa sebagai fasilitas pelayanan masyarakat;
- Pembangunan Masjid dan Mushola sebagai tempat ibadah;
- Pengaspalan jalan-jalan utama;
- Peningkatan infrastruktur air bersih;
Kepemimpinan Bapak Sumarto berakhir pada tahun 1988 setelah kurang lebih 19 tahun memimpin Desa Baseh, yang telah mencapai banyak prestasi.
Pada tahun 1989, kepemimpinan dilanjutkan oleh Bapak Atmo Sukirno. Selama masa kepemimpinan Bapak Atmo Sukirno, fokus utamanya adalah pemeliharaan infrastruktur pembangunan yang telah ada serta penyempurnaan lembaga-lembaga desa. Salah satu langkah yang diambil adalah pemindahan Balai Desa Baseh dari lokasi awalnya di wilayah RT. 01/01 ke wilayah RT. 03/01, karena lokasi awalnya terlalu sempit dan tidak memenuhi syarat.
Kepemimpinan Bapak Atmo Sukirno berakhir pada tahun 1997. Setelah itu, dilakukan pemilihan Kepala Desa untuk periode 1999-2007, dan Bapak Saeri terpilih sebagai Kepala Desa. Selama masa kepemimpinan Bapak Saeri, Desa Baseh mengalami kemajuan signifikan, baik dalam pembangunan fisik maupun non-fisik.
Saat mendekati akhir masa jabatannya, Bapak Saeri meninggal dunia akibat penyakit.
Sejak tahun 2007, posisi Kepala Desa Baseh dipegang oleh Bapak Amin Fauzan, yang melanjutkan upaya yang telah ditempuh oleh pendahulunya hingga saat ini.